Nama : muhamad rizki
Npm : 27414001
Kelas : 1ic11
Agama dan masyarakat
FUNGSI AGAMA
Fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek yaitu
kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan
kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku
manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama dalam
memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu
sistem, dan sejauh manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi
melakukan fungsinya. Pertanyaan itu timbul sebab sejak dulu sampai saat ini,
agama itu masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional
memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang seimbang. Manusia
mementaskan dan menolakan kegiatannya menurut norma yang berlaku umum, peranan
serta statusnya.
teori fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya
adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang beriteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya, setiap
saat mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat teta kelakuan, bersifat
konkret terjadi di sekeliling. Dalam hal ini kebudayaan menentukan situasi dan
kondisi bertindak, mengatur dengan sistem sosial berada dalam batasan sarana
dan tujuan, yang dibenarkan dan yang dilarang. Kemudian agama dengan referensi
transendensi merupakan aspek penting dalam fenomena kebudayaan sehingga timbul
pertanyaan, apakah posisi lembaga agama terhadap kebudayaan merupakan suatu
sistem.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana masalah fungsional
dalam konteks teori fungsional kepribadian, dan sejauh mana agama
mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Kepribadian dalam hal
ini merupakan suatu dorongan, kebutuhan yang kompleks, kecenderungan,
memberikan tanggapan serta nilai dsb yang sistematis. Kepribadian sudah terpola
melalui proses belajar dan atas otonominya sendiri. Sebagai ilustrasi sistem
kepribadian adalah Id, Ego dan Superego yang ada dalam situasi yang terstruktur
secara sosial.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial
yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama dan termasuk
konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan
mendasar yang dapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi. Tetapi tidak
menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transendental (istilah
Talcott parsons).
Aksioma teori fungsional agama adalah, segala sesuatu yang
tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya, karena agama sejak dulu sampai
saat ini masih ada, mempunyai fungsi, dan bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Teori fungsionalis agama juga memandang kebutuhan “sesuatu yang
mentransendensikan pengalaman” (referensi transendental) sebagai dasar dari
karakteristik dasar eksistensi manusia meliputi:
1. Manusia hidup
dalam kondisi ketidakpastian; hal penting bagi keamanan dan kesejahteraan
manusia berada di luar jangkauannya
2. Kesanggupan
manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya terbatas, dan
pada titik dasar tertentu kondisi manusia dalam kaitan konflik antara keinginan
dengan lingkungan ditandai oleh ketidak berdayaan.
3. Manusia harus
hidup bermasyarakat dimana ada alokasi yang teratur dari berbagai fungsi,
fasilitas, dan ganjaran. Ini mencakup pembagian kerja dan produk. Dalam hal ini
tentu masyarakat diharuskan berada dalam kondisi imperatif, yaitu ada suatu
tingkat superordinasi dan subordinasi dalam hubungan manusia. Kelangkaan ini
menimbulkan perbedaan distribusi barang dan nilai, dengan demikian menimbulkan
deprivasi relatif.
Jadi seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk
bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidak pastian, ketidakberdayaan dan
kelangakaan dan agama dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar
terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada
kerangka acuan yang bersifat sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral
mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat
duniawi dan supramanusiawi dan ukhrowi.
Fungsi agama dibidang sosial adalah fungsi penentu, dimana
agama menciptakan suatu ikatan bersama,
baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban
sosial yang membantu mempersatukan mereka.
DIMENSI KOMITMEN AGAMA
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah
pada komitmen agama. Dimensi agama, menurut Roland Robertson (1984),
diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan
konsekuensi.
a. Dimensi
keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan
menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran
ajaran-ajaran agama.
b. Praktek agama
mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti yaitu perbuatan untuk
melaksanakan komitmen agama secara nyata.
c. Dimensi
pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan
tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai
pengetahuan yang langsung dan subjektif realitas tertinggi, mampu berhubungan
meskipun singkat dengan suatu perantara yang supernatural.
d. Dimensi
pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap
religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan
upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi
konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan
pembentukan citra pribadinya.
3 TIPE KAITAN AGAMA DENGAN MASYARAKAT
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe,
meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham,
1954), yaitu:
Masyarakat yang
terbelakang dan nilai- nilai sacral. Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan
terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya
keanggotaan mereka dalam masyarakat, dalam kelompok keagamaan adalah sama.
Masyarakat-
masyarakat pra- industri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakat tidak
terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama.
Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini.
Dan fase kehidupan sosial diisi dengan upacara- upacara tertentu.
Masyarakat-
masyarakat industri secular. Masyarakat industri bercirikan dinamika dan teknologi
semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-
penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-
penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi agama, Salah satu akibatnya
adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris
berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah kemanusiaan,
sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas. Watak masyarakat
sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan
langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan
kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
PELEMBAGAAN AGAMA
Pelembagaan agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk
membimbing, membina dan mengayomi suatu kaum yang menganut agama.Agama begitu
univeersal , permanan (langgeng) , dan mengatur dalam kehidupan sehingga bila
tidak memahami agama , akan sukar memahami masyarakat. Hal yang perlu dijawab
dalam memahami lembaga agama adalah , apa dan mengapa agama ada , unsur-unsur
dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama. Contohnya adalah MUI. MUI
berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan
dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi
dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa
itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat,
yaitu, NU, Muhammadiyah , Syarikat Islam , Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar
, GUPPI , PTDI , DMI dan Al Ittihadiyyah , 4 orang ulama dari Dinas Rohani
Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut,
dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam
sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah
yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Sejarah
mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi
melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan.
Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga
agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut
saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering
membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut)
yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru
ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa
baru.
Kasus-kasus
itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi
juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di
Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde
Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah
pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut
agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah.
Namun
ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut
suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian
terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang
formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran
agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama
monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian.
Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai
cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya
pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desa – desa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang
bagi para pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah
upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama
sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan
tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar.
Anehnya
sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin
segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun
menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan
praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan
hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu
upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan
pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau
pimpinan agama.
Agama sangat
universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami
agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam
memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan
bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Menurut
Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat
mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara
utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut
agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam
kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang
lain. Sifat-sifatnya:
1. Agama memasukkan
pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
2. Nilai agama
sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat
dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra
keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama
memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat
yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase
kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama
tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya
memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan
rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan
berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu
akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih
banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan
di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang
kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama
yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama
melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk
memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam
perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu
jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam
sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu
aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai
dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa
hal penting bersifat keagamaan.
Adanya
organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga
memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman
tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk
perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran
diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan.
Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama,
sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang
mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau
kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari
pengalaman ajaran wahyunya. Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa
peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai
asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya
organisasi keagamaan.
Lembaga
ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting
seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah
Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan
symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan
sebagainya.
Organisasi
keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh
kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai
Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir
Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk
mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang
sebagai “segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan
jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh
sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide,
ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi.
Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan
(ibadat), dan tingkat organisasi. Tampilnya organisasi agama adalah akibat
adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan
masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan
sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut
mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
5) Contoh dan
kaitannya tentang konflik yang ada dalam agama dan masyarakat:
Contoh-contoh dan kaitannya tentang konflik yang ada dalam
agama dan masyarakat didalam masyarakat terdapat perbedaan agama yang dianut
dari masing-masing individu namun diantara mereka tidak saling menghargai dalam
perbedaan agama tersebut , dan akan timbul permasalahan seperti:
Konflik perbedaan
pendapat tentang agama.
Perpecahan.
Peperangan antar agama.
Pelecehan Agama.
dll.